oleh

Pusaka Milik Para Dewa, Berikut Sejarah Keris Di Tanah Jawa

-Budaya-611 views

LOKABALI.COM – Sebagai masterpiece warisan dunia asli Nusantara, Keris tidak hanya sebagai symbol keagungan budaya bangsa, namun juga symbol keluhuran budaya Nusantara.

Oleh karena itu pengakuan lembaga warisan dunia, UNESCO, atas keris sebagai karya adi luhung budaya Nusantara yang di akui oleh dunia, tentu bukanlah tanpa sebab biasa.

Jejak sejarah peradaban budaya, mitologi dan manuskrip manuskrip tentang sejarah keris dan peninggalanya, tentu menjadi dasar bagi UNESCO untuk mengakui keris sebagai warisan dunia asli Nusantara.

Sehingga sangatlah tidak mungkin keris dapat di klaim oleh negara negara lain di dunia.

Keberadaan senjata pusaka yang menjadi ciri khas masyarakat Jawa tersebut, sekaligus menandakan keluhurun adi luhung budaya bangsa.

Oleh karena itu tidaklah aneh jika banyak pendatang saling berebut ingin memperoleh pengakuan menjadi bagian dari bangsa Nusantara. Sebab tak sedikit budaya Nusantara yang juga di klaim oleh bangsa asing, tak terkecuali leluhur leluhur Nusantara yang ada saat ini.

Di kutip dari berbagai sumber manuskrip manuskrip kuna,

Di kisahkan, para dewa  di kahyangan di tanah hindi yang nantinya di kenal dengan sebutan tanah Hindustan, mereka mengejawantah di tanah Jawa beralih sebagai resi yang di pimpin oleh Sang Hyang Batara Guru dengan julukan Resi Mahadewa Budha.

Di tanah jawa para dewa mempertontonkan kesaktianya dan berbagai ilmu yang dimiliki.

Oleh karena itu ia kemudian disebut sebagai Jawata yang artinya guru tanah jawa.

Melihat kesaktian para dewa yang mengejawantah menjadi para resi, orang orang di tanah jawa tunduk dan menyembah kepada para dewa, yang saat itu bertepatan tahun candrasangkala 105 yang di tandai ‘ Tata Barakaning Janma“

Resi Mahadewa Budha lantas menunjuk tempat para dewa di empat kiblat sebagai pemangku wilayah dengan sebutan jawata.

Sementara itu sebagai pimpinan, Resi Mahadewa Budha berada di tengah, bertempat di sebelah barat gunung Candramuka atau di Gunung Candrageni (Merapi) tanah Kedu. Resi Mahadewa Budha lantas membangun candi Marabudha, sedangkan para jawata yang lain masing masing juga membangun candi.

Bertepatan dengan tahun candrasangka 144 di tandai ‘ Yoga Dadi Raja’ Resi Mahadewa Budha jumeneng raja sebagai pemimpin sakutu kutu wong alang taga. Sakutu kutu artinya semua mahkluk hidup yang berjalan merambat (gegremetan). Wong artinya manusia, sedangkan alang adalah mahkluk hidup atau binatang yang bersayap (iber iberan). Ataga artinya semua mahkluk hidup atau binatang yang berjalan menggunakan kaki dan tangan atau berkaki empat. (berangkangan).

Setelah menjadi raja, Resi Mahadewa Budha berjuluk Sri Maharaja Dewa Budha di keraton Medhangkamulan. Di sebelah utara lereng gunung Kamula yang sekarang di sebut dengan gunung gede atau gunung pangarango. Resi Naradha sebagai patihnya. Berdirinya Kerajaan Medangkamulan menjadi cikal bakal adanya ratu di tanah jawa.

Taun candrasangkala 150 di tandai dengan ‘ sirna wisayaning bumi ‘, Sri Maharaja Dewa Budha memindahkan keraton Medang kamulan ke gunung Lawu setelah lima tahun bertahta di gunung gede.

Di Gunung Lawu keraton nya di sebut kasuwargan atau tejamaya, arga dumilah, jongring saloka dengan bangsal Mercukundha atau bale Marakata dan wot ogal agil.

Saat jumeneng raja di gunung lawu, Sri Maharaja Dewa Budha kemudian meminta kepada Empu Batara Ramayadi agar di di buatkan senjata untuk berperang sebagai alat kelengkapan kerajaan diantaranya, cakra, kunta, katana, cundha, saraba, kalaka, sagri, nagapasa, sangkali, cundrik, patrêm, juga keris dhapur pasupati, dhapur lar ngatap. Pembuatan ini sebagai cikal bakal adanya senjata perang dan keris di tanah jawa.

Di tahun yang sama, Sang Hyang Bathara Wisnu mengejawantah kembali di tanah jawa menjadi brahmana, dengan nama Brahmana Kèstu. Saat mengejawantah Brahmana Kestu di tantang adu kesaktian oleh Sri Maharaja Berawa namun di menangkan oleh Brahman Kestu.

Akibat kekalahanya, Brahmana Kestu kemudian jumeneng raja dengan julukan Sri Maharaja Budhakresna. Sedangkan kerajaan yang berhasil diduduki beralih nama menjadi Purwacarita. Sedangkan Sri Maharaja Berawa di minta membawahi para lelembut di Krendhayana yang sekarang di kenal dengan nama Krendhawahana.

Taun candrasangkala 261 di tandai dengan ‘Janma ngobahakên panêmbah” , Sri Maharaja Budhawaka menyerbu Purwacarita, ia mengira yang menjadi ratu Sang Hyang Bathara Kala. Sri Maharaja Budhawaka kala itu membuat berbagai macam senjata diantaranya, bramastra, keris dhapur tilam upih dan dhapur bale bang. Dhapur tilam upih di berinama Jaka Piturun,sedangkan dhapur bale bang di beri nama Pamunah.

Taun candrasangkala 262, ditandai ‘ Kalih agana boja’ , Patih Bramakadhali jumênêng raja di Gilingaya ke 2 dengan sebutan Prabu Bramakadhali. Taun candrasangkala 265,di tandai “ Gatining rasa kapêksa “, Sri Maharaja Budhakrêsna kejatuhan tosan aji, kemudian di jadikan keris dhapur buntala, dhapur urap-urap, dhapur sêpang dan dhapur sumpana lêrês.

Taun candrasangkala 296 di tandai dengan ‘Măngsa kasanga amanglar’, Sang Hyang Bathara Surya ngejawantah di tanah Jawa menjadi rêsi dengan nama Rêsi Radhi.

Selama mengejawantah, Resi Radhi mengitari hutan hutan dan gunung gunung yang ada di tanah jawa. Iamenjadi tuntunan banyak orang kemudian di sebut puruhita. Resi Radhi juga membuat perhitungan lima hari yang sekarang di kenal dengan istilah Lêgi, Paing, Pon, Wage, Kliwon atau măngsa 12.

Sumber: Manuskrip tentang keris.

(Djk)

Follow Lokabali.com di Google News



Komentar

Berita Lain