oleh

Babad Pajang : Palagan Bengawan Sore

LOKABALI.COM- ‘ Arya Jipang lamun sira nyata lanang, mêtua ingajurit, sira anabranga, ing kali Sore agya, samêngko ingsun antèni, dudu satriya, yèn sira tan nêkani ‘

( Arya Jipang jika kamu laki laki keluarlah untuk bertanding, menyeberanglah dari Bengawan Sore, bukan satria jika kamu tidak berani datang).

Sembari tangan kanan mengepal nasi yang akan di makan, tangan kiri Arya Penangsang menerima surat tantangan dari Pajang yang di bawa oleh sang pekatik (perawat kuda).

Keterangan gambar : Makam Arya Penangsang di komplek makam Kadilangu, Demak / Foto: Lokabali

Membaca surat tantangan dari Pajang, Arya Jipang marah sekali. Kepelan nasi yang ada dalam genggaman tangan seketika itu di banting di atas meja dan menghancurkan alas meja yang terbuat dari batu hingga berkeping keping.

Sebelumnya raja Pajang Sultan Hadiwijaya merasa sudah tidak ada lagi orang yang sanggup menghadapi Arya Jipang. Akankah dia sendiri yang maju menghabisinya.

Baca juga : Pertapaan pringgondani jujugan pelaku ritual di bulan sura

Sebagai seorang raja, tentunya Sultan Hadiwijaya berkeinginan agar para punggawa yang menyelesaikan urusan Pajang dengan Jipang.

Hingga kegalauan tersebut sirna saat Ki Juru Mertani meminta kepada Ki Pemanahan dan Ki Penjawi untuk menerima sayembara dari Sultan Pajang. Sebab siapa yang berhasil menghabisi Arya Jipang akan di beri hadiah tanah Mentaok dan Pati.

Mendengar kesanggupan Ki Pemanahan dan Ki Penjawi mengikuti sayembara, Sultan Hadiwijaya hatinya senang sekali. Sebab keduanya merupakan saudara angkat yang di harapkan dapat membantu menyelesaikan persoalan Pajang.

Untuk membunuh Arya Penangsang, Ki Juru Mertani lantas menyusun strategi menangkap seorang perawat kuda (pekatik) dari Jipang untuk di kirim sebagai tanda pesan tantangan.

Setelah berhasil menangkap sang pekatik, salah satu telinganya di tebas hingga berdarah, kemudian di kalungi surat berisi pesan tantangan untuk Arya Penangsang.

Melihat kedatangan sang pekatik yang telinganya berlumuran darah, Arya Jipang marah sekali. Darahnya bergolak menahan amarah yang sangat luar biasa. Ia merasa tidak hanya di remehkan namun juga di rendahkan, setelah membaca surat tantangan dari Pajang.

Tanpa pikir panjang Arya Jipang mengambil kuda gagak rimang titihanya menyeberangi sungai Bengawan Sore, melabrak pasukan Pajang di seberang sungai Bengawan Sore. Strategi menyeberangi sungai Bengawan Sore sengaja di buat oleh Ki Juru Mertani agar Arya Penangsang maju dalam peperangan seorang diri.

Di akui oleh Pajang, Arya Jipang memiliki kesaktian dan kaprawiran satria pilih tanding. Murid Sunan Kudus ini juga kebal senjata, tak mempan tapak paluning gurinda.

Dalam perang palagan Bengawan Sore, Arya Jipang merangsek pasukan Pajang. Meski sabetan pedang dan keris menghujani tubuhnya, namun ia sama sekali tak merasakan sakit. Panas hatinya menyala berkobar membakar amarah ingin menghabisi seluruh pasukan Pajang.

Kemarahan Arya Jipang membuat pasukan Pajang kewalahan. Ia menyerang bak singa kelaparan mencari mangsa.

Arya Jipang tak henti menghabisi pasukan Pajang. Ribuan pasukan Pajang terus berusaha mengepung Arya Penangsang di tengah arena palagan.

Saat Arya Jipang terkepung , Raden Ngabehi Loringpasar maju menghujamkan tombak Kyai Plered ke arah dada Arya Penangsang.

Meski tak mengenai dadanya, namun tombak Kyai Plered berhasil menyobek lambung Arya Jipang hingga terburai usus lambungnya. Ujung tombak Kyai Plered patah semenir beras saat beradu dengan tubuh Arya Penangsang.

Dalam duel satu lawan satu, Raden Ngabehi Loringpasar berhasil di taklukan oleh Arya Penangsang.

Hanya saja naas, saat Arya Jipang hendak menghabisi Raden Ngabehi Loringpasar menggunakan keris pusaka Kyai Brongot Setan Kober, justru keris tersebut memotong usus yang melilit disarung warangkanya.

Akan tetapi benarkah gugurnya Arya Jipang akibat kelalaianya sendiri ?

Beberapa sumber literasi mengatakan, jika dalam palagan Bengawan Sore Arya Jipang belum gugur. Hal tersebut di ungkapkan dalam serat rerepen keraton Jipang yang berbunyi.

‘ Prayitno Sutaijaya, saking kuda nylorongaken kang bliring, angenani lambungipun, arya jipang kacurnan, kutah marus dawah saking kudanipun, jumebluk ing bantala, arya penangsang ngemasi ‘.

Menurut almarhum Mpu Totok Brojodiningrat, pemerhati sejarah yang juga mpu padepokan keris Brojodiningrat dalam tembangnya di katakan, pupuh pangkur serat rerepen keraton Jipang jelas dikatakan, jika pusaka  yang di gunakan Ngabehi Loring pasar atau Danang Sutowijaya untuk membunuh Arya Penangsang bukanlah tombak  Kyai Pleret, melainkan tombak Bliring.

Sehingga anggapan meninggalnya Arya Jipang dalam palagan bengawan sore oleh tombak pusaka Kyai Plered di tepis dengan adanya serat rerepen keraton jipang.

Gugurnya Arya Jipang jika merunut syair dalam tembang pupuh pangkur tersebut juga di pertanyakan.

Sebab makna ngemasi dalam terminologi jawa bukan meninggal atau wafat. Kematian dalam terminologi jawa dikenal dengan kata pati patitis, pati praseda dan pati patata.

Oleh karena itu sampai saat ini masih banyak masyarakat dan para pemerhati sejarah yang meragukan kematian Arya Penangsang dalam palagan Bengawan Sore.

Mengingat masih hitam pekatnya sejarah Keraton Pajang sampai dengan saat ini.(*)

 

 

Follow Lokabali.com di Google News



Komentar

Berita Lain