LOKABALI.COM-Manusia sebagai mahkluk ciptaan Tuhan tentu harus menyadari betapa pentingnya keselarasan hidup di alam semesta ini. Karena keselarasan sudah menjadi kodrat Tuhan Yang Maha Kuasa. Segala perilaku di alam semesta ini harus ada keseimbangan apapun bentuknya perilaku tersebut.
Kebaikan akan ada keburukan sebagai penyeimbang, begitupun saat siang akan ada malam. Pagi juga ada petang dan seterusnya.
Kodrat seperti ini menjadi satu keseimbangan yang harus ada di dalam alam semesta. Suatu kebaikan yang berlebih tak akan menjadikan kebaikan tersebut semakin lebih baik, karena ada keseimbangan yang di tinggalkan.
Begitupun dengan keburukan, suatu keburukan yang berlebih juga akan mengakibatan rusaknya kebaikan, sehingga di dalam hidup keseimbangan senantiasa harus terjaga.
Karena yang dipandang buruk oleh manusia, belum tentu buruk bagi mahkluk hidup yang lain.Tak terkecuali yang ada di dalam dunia ghaib, tanpa kita sadari keadaan di dalam dunia ghaib secara tidak langsung akan mempengaruhi kondisi kehidupan umat manusia. Untuk itulah kenapa tempat yang dianggap keramat dan angker harus dijaga keselarasannya, agar kehidupan manusia jauh dari bencana balak dan wabah.
Dari sekian banyak ragam tradisi masyarakat Jawa yang memiliki makna menjaga keselarasan alam salah satunya adalah tradisi adat sesaji Mahesa Lawung yang di gelar oleh Keraton Kasunanan di Hutan Krendawahana.
‘Di tempat tersebut keraton memberikan tumbal sesaji kepala kerbau.‘ jelas KGPH. Dipo Kusuma, selaku pengageng parentah Keraton Solo.
Esensi dari sesaji Mahesa Lawung sebenarnya adalah menjaga keselarasan hidup di alam semesta. Agar masyarakat di jauhkan dari bencana pagebluk dan wabah penyakit. Keraton dan kawulanya senantiasa di berikan berkah keselamatan serta di mudahkan oleh Gusti Allah.
Hutan Krendawahana terletak di Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar. Tempat ini oleh keraton Kasunanan dianggap sebagai salah satu pancer tanah Jawa yang berada di bagian utara, selain gunung lawu di sisi timur, gunung Merapi di bagian barat dan Segara kidul di bagian selatan.
Menurut kepercayaan masyarakat Jawa, Hutan Krendawahana merupakan tempat bersemayamnya Batari Kalayuwati, putri Batari Durga. Kesakralan Hutan Krendawahana tak lepas dari sejarah masa silam yang sampai saat ini di percaya sebagai tempat berkumpulnya para jin priyangan, lelembut dan seluruh bangsa ghaib yang ada di daratan tanah Jawa.
Dalam tradisi sedekah adat Mahesa Lawung, berbagai macam sesaji di persembahkan oleh keraton diantaranya jajan pasar, ayam ingkung , ikan lele, satu kepala kerbau, empat kaki kerbau serta daging kerbau yang di masak dalam berbagai jenis masakan. Dupa kemenyan, wewangian dan arak ciu yang disiramkan ke daging sesaji yang masih mentah.
Dari berbagai macam sesaji yang di persembahkan oleh keraton, salah satu sesaji yang harus ada dan tidak di lupakan adalah bunga matahari dan kutu kutu walang atogo.
Bunga Matahari dalam Mahesa Lawung dihias menyerupai bentuk asli matahari yang tengah bersinar. Wujud ini melambangkan kembalinya kehidupan kepada Sang Maha Kuasa. Mekarnya bunga Matahari membawa kehidupan bagi umat manusia, namun setelah layu biji biji yang di bawa oleh bunga matahari akan berjatuhan ketanah, kemudian tumbuh dan berkembang lagi seperti dalam kehidupan umat manusia di dunia.
Sedangkan kutu kutu walang atogo merupakan sejenis belalang yang dulu sering di pakai sebagai sarana sesajian, namun saat ini jenis tersebut sudah sangat jarang sekali di temukan.
Pada jaman dahulu Kutu Kutu Walang Atogo di persembahkan oleh para penduduk kerajaan kepada raja sebagai bakti wujud rasa syukur terhadap kepemimpinan sang raja yang sudah mengayomi seluruh rakyatnya.
Rangkaian sesaji di Hutan Krendawahana lebih banyak berupa daging mentah. Ikan lele dan ayam di masukan kedalam wadah kendil dalam keadaan masih mentah. Tak terkecuali kepala dan daging kerbau.
Seluruh sesaji yang masih mentah oleh abdi dalem keraton di siram dengan menggunakan arak agar tidak menimbulkan bau amis. Acara yang di gelar setahun dua kali dalam penanggalan jawa ini di hadiri para sentana dalem, kerabat dan abdi dalem keraton Solo PB XIII.
Konon menurut cerita, Betari Durga adalah ratu dari seluruh raksasa bangsa lelembut yang ada di daratan tanah Jawa.
Oleh sebab itu untuk menjaga keselarasanya, para leluhur jaman dahulu melakukan upacara sesaji Mahesa Lawung, hanya saja sedekah Mahesa Lawung kala itu di kenal dengan nama sesaji Rajaweda.
Upacara Rajaweda di lakukan sejak jaman Prabu Sitawaka dari Gilingaya, dan terus berlanjut sampai dengan saat ini. Tradisi ini di gelar karena kerajaan Gilingaya di terpa pagebluk yang menyebabkan kerajaan resah.
Oleh Brahmana Radhi yang menjadi utusan Prabu Sitawaka, lantas di carikan jalan keluar untuk mengatasinya dengan cara melakukan persembahan sesaji Rajaweda pada tahun 387 yang di tandai dengan Candra Sengkala Pujaning Brahmana Guna.
Setelah dilakukan ritual persembahan sesaji oleh Brahmana Radhi, pagebluk yang menimpa kerajaan Gilingaya sirna. Keberlangsungan tradisi Rajaweda kemudian berlanjut di era kejayaan Majapahit, Demak sampai dengan Mataram Islam di tanah Jawa.
Oleh karena itu dalam persembahan mantra doa sesaji Mahesa Lawung dilakukan dengan menggunakan tiga kepercayaan yaitu Budha, Jawa dan Arab. Karena upacara sesaji tersebut sudah dilakukan jauh sebelum masuknya agama di tanah Jawa.
BRM. Kusuma Putra, Ketua Yayasan Forum Budaya Mataram sangat mengapresiasi tradisi adat Mahesa Lawung yang di selenggarakan oleh keraton Kasunanan Surakarta.
Sebagai pemangku adat, tradisi dan budaya, kearifan lokal tersebut sudah seharusnya terus di galakan di tengah masyarakat.
Karena di dalam kearifan lokal kita dapat menemukan nilai persatuan dan kesatuan, kearifan budi pekerti, keselaran dan belajar dalam bersikap memayu hayuning bawana.
‘Sehingga kedamaian dan keselarasan dapat kita peroleh’ tuturnya
Esensi dari tradisi kearifan lokal sebenarnya mengajarkan kita berlaku adab, tata krama yang selaras dengan nilai nilai luhur dalam tradisi masyarakat lokal.
Banyak nilai pendidikan keluarga dan masyarakat dapat kita ambil dari tradisi kearifan lokal. Begitupun terhadap nilai kebangsaan, dapat menumbuhkan karakter jati diri bangsa di tengah ancaman disrupsi jaman.
Dikatakan, landasan pembangunan kebudayaan bangsa ini sebenarnya adalah kearifan lokal. Rangkaian adat, tradisi dan budaya yang di bingkai dalam kebhinekaan oleh para pendahulu kita.
Di akui benar atau tidak kondisi bangsa yang berada dalam ketidak pastian jati diri saat ini di karenakan telah melalaikan budaya kearifan lokal. Sehingga dengan di gelarnya sesaji Mahesa Lawung, kita di kenalkan kembali dengan kebudayaan masa silam yang penuh dengan esensi nilai nilai luhur.
‘ Baik antara manusia dengan manusia. Manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan Sang Maha PenciptaNYa’ Tutup Kusuma dalam keteranganya. /jk
Komentar