oleh

Ketua FBM: Memaknai Sadranan Dalam Tradisi Masyarakat Jawa

-Budaya, Tradisi-1.004 views

LOKABALI-Bulan sya’ban atau bulan ruwah dalam penanggalan jawa, merupakan salah satu bulan istimewa bagi umat muslim di Indonesia khususnya di kalangan masyarakat Jawa.

Sebab pada bulan tersebut masyarakat akan melaksanakan tradisi sadranan atau ruwahan dengan cara berziarah di makam para leluhur dan sanak saudaranya.

Sehingga tidak mengherankan jika tempat tempat pemakaman umum yang ada di desa dan di kota selalu ramai pada bulan tersebut. Masyarakat berbondong bondong berziarah tak hanya mendoakan para ahli kubur, namun juga membawa sedekah makanan untuk di bagi bagikan kepada masyarakat.

Masyarakat mempercayai, berkah sedekah tersebut dapat menjadi sarana pahala bagi para ahli kubur yang di berikan oleh sanak saudaranya untuk bekal amal di akherat.

Sementara itu Sadranan dalam tradisi masyarakat jawa di sampaikan oleh Ketua Forum Budaya Mataram, BRM Dr. Kusuma Putra S.H,.M.H, merupakan tradisi yang sudah di kenal sejak ratusan tahun silam di kalangan Masyarakat Jawa.

Meski tata cara pelaksanaanya mengalami pasang surut, namun nilai dalam tradisi tersebut tidak pernah lekang yakni, menjalin kedekatan dengan para leluhur yang sudah tiada. Di Keraton Kasunanan Surakarta, setiap bulan ruwah juga menggelar tradisi hajad dalem Sadranan.

Sedangkan beberapa tempat pemakaman yang dulu di pakai tradisi sadranan oleh Keraton Surakarta, diambil dari sumber literasi serat serat kuna diantaranya, Cêmani, Kartasura, Karangnăngka, Kudus, Kadilangu, Kaliwungu, Kajoran, Kêmadhu (Janti), Kuthagêdhe, Drana, Dêmak, Taji, Têmbayat, Têgalarum, Tingkir, Sribit, Sariban, Sela, Slêmbi (Janti), Sumênêp, Simawalèn, Sumbêr (Karangnăngka), Wotgalèh, Walèn (Simawalèn), Wêdhi (Kêdhu), Wiyara, Lawiyan, Panitikan, Praon, Padodotan, Pilang, Pepe, Popongan, Pamêkasan, Janti, Jurangjêro, Muryapada, Makamhaji, Madura, Masjid Gêdhe, Mungup, Gunung Adêg, Gunung Kêlir, Giri, Girilaya, Girilayu, Giring, Gambiran, Benang, Barèng, Butuh, Ngèndhèn, Ngrancah, Ngruwèng, Ngampèldênta dan Imagiri.

Sadranan juga kerap di lakukan di kampung kampung dengan cara kirim doa arwah bersama sama, atau menggelar acara tahlil ageng ruwahan untuk para leluhur dan sanak saudara ahli kubur.

Saat acara tersebut di selenggarakan, masyarakat biasanya menyertakan sedekah nasi wuduk, jajan pasar dan berbagai makanan lainya untuk di doakan dan di makan bersama sama di akhir acara.

‘ Meski tata cara pelaksanaanya di lakukan di kampung kampung, namun tidak mengurangi nilai dari tradisi sadranan ‘ Ujar Ketua Forum Budaya Mataram

Kusuma, ruwah memiliki makna menyambung rasa antara yang hidup dengan yang mati. Ruwah juga kerap di artikan Ruh sing Uwah atau Roh yang bergerak. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika masyarakat jawa mempercayai, saat bulan tersebut ruh para leluhur akan berkunjung ke rumah anak cucunya, sehingga oleh keluarganya lantas di buatkan sesaji pancenan.

Pancenan merupakan rangkaian sesaji diantaranya bunga liman, kopi, rokok, makanan kesukaan, kolak pisang, kue apem, serta sentir lampu sumbu dari minyak tanah sebagai symbol penerang di akherat.

Sesaji jelas BRM. Kusuma Putra, simbol sambung rasa antara yang hidup dengan yang mati.

Bunga liman untuk wewangian memiliki makna lima warna kehidupan yang harus dijalani manusia sejak ia lahir yaitu, hidup menjadi bayi, dewasa, uzur dan akhirnya mati.

Diartikan, hendaklah dalam hidup kita seperti bunga liman yang membawa wewangian agar di kenang untuk selamanya. Kopi dan makanan kesukaan dilambangkan sebagai rasa cinta anak cucu terhadap leluhurnya. Meski mereka sudah lama tiada namun tetap memiliki kedekatan rasa ruhani.

Pisang kolak yang memiliki rasa manis dilambangkan sebagai simbol kebaikan dan kemanisan hidup. Sedangkan apem di lambangkan sebagai wujud berkah dari Tuhan Yang Maha Esa.

Sadranan juga bisa menjadi sarana penolak bala. Sebab melalui sambung rasa yang terus terjalin dengan para leluhurnya dipercaya oleh masyarakat jawa dapat menjadi penghalang balak.

Oleh sebab itu menjalin kedekatan antara yang hidup dengan leluhur yang sudah mati melalui doa kepada Tuhan Yang Maha Esa, akan membuat manusia semakin menyadari betapa pentingnya hubungan kerohanian tersebut.

Sehingga kita sebagai manusia akan lebih menyadari harmonisasi hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Tuhan Sang Maha Pencipta-NYa.

Follow Lokabali.com di Google News



Komentar

Berita Lain