oleh

Sekaten, Perayaan Gamelan Pusaka Pemanggil Umat

-Budaya-2.913 views

LOKABALI.COM – Perayaan Sekaten yang di gelar oleh Karaton Kasunanan Surakarta tiap bulan Maulud dalam penanggalan Jawa ini sebagai salah satu cara melestarikan tradisi peringatan hari lahir Nabi Muhammad SAW.

Selain sebagai bentuk upacara tradisi, Sekaten sekaligus dipergunakan para Walisongo untuk melakukan Siar Islam pada awal pertama kali di helat. Perayaan yang di mulai pada masa kejayaan Sultan Syah Akbar Jumbun Sirullah Brawijaya atau Raden Patah di Demak ini, digelar sesaat setelah pembangunan masjid Demak selesai pada tahun 1403 Saka.

Selain sebagai peringatan hari kelahiran Nabi besar Muhammad SAW, tradisi ini sekaligus di pergunakan para wali untuk melakukan dakwah. Dari sini pula, bunyi gamelan mengawali perayaan Sekaten sebagai salah satu gamelan pengiring Wali Songo dalam berdakwah.

Tradisi yang digelar selama sepekan ini di tandai dengan turunnya dua gamelan pusaka milik Karaton Surakarta yang diletakan di serambi masjid Agung Surakarta di sisi sebelah Utara dan Selatan. Kedua Gemelan yang diambil dari bangsal Sitihinggil Karaton Surakarta Hadiningrat tersebut adalah Kyai Guntur Sari dan Kyai Guntur Madu. Keduanya akan ditabuh selama sepekan sebagai gamelan pengiring awal dimulainya pekan perayaan Sekaten.

“Kedua gemelan ini tak boleh sembarangan di pergunakan,” jelas KRA. Drs. Sapto Diningrat M Hum.

Lebih lanjut, abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta ini mengatakan, kedua Gamelan yang dipergunakan sebagai pengiring Sekaten, merupakan gamelan yang diwariskan sejak turun temurun pada masa raja-raja sebelum Mataram Islam di Surakarta dan Jogjakarta. Kedua Gamelan tersebut kemudian dibagi menjadi dua beberapa saat setelah peristiwa Bedah Kartosuro Hadiningrat, yang menyebabkan terbentuknya dua buah kerajaan penerus Mataram Islam di Jawa yakni, Surakarta dan Yogyakarta.

Oleh Raja Kasunanan pada waktu itu, kemudian dibuatkan lagi satu perangkat gamelan sebagai pelengkap dari gamelan sebelumnya yang terbagi menjadi dua.

“Sampai saat ini, kedua perangkat gamelen yang bernama Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari masih terus dilestarikan dan dipergunakan hanya pada saat pekan tradisi Sekaten,” jelas Sapto Diningrat.

Selain abdi dalem Sapto Diningrat, salah satu putra Paku Buwono ke XII, GPH. Puger juga menuturkan, Sekaten tak hanya dijadikan sebagai salah satu upacara tradisi yang sudah ada secara turun temurun. Tapi tradisi ini sekaligus sebagai bentuk wujud rasa syukur Keraton dan seluruh masyarakat. Wujud syukur tersebut dilakukan dengan cara mengadakan Upacara Gunungan pada saat akhir puncak perayaan Sekaten atau yang biasa dikenal dengan nama Gerebeg Mulud.

Gunungan Sekaten yang terdiri dari rangkaian hasil bumi ini menjadi salah satu sarana penyampaian wujud rasa terima kasih kepada Tuhan Sang Maha Pencipta. Keduanya disimbolkan dalam bentuk dua buah gunungan laki-laki dan perempuan, serta dua buah gunungan kecil yang diwujudkan sebagai gunungan anakan. Gunungan ini akan diperebutkan oleh masyarakat yang sudah menanti selama sepekan.

Puger menambahkan, kedua gamelan yang diletakan di bangsal masjid agung di sisi Selatan adalah gamelan pusaka Kyai Guntur Sari. Gamelan pusaka ini akan membunyikan gending pengiring pertama kali yaitu gending Rambu. Artinya, Rabbuna yang memiliki arti ‘Allah yang aku sembah’.

Sedangkan Kyai Guntur Madu yang berada di sisi Utara akan mengawali gending dengan nama gending Rangkung yang berasal dari bahasa arab Raukhun yang juga memiliki arti ‘jiwa yang Agung’.

Namun intisari dari pelaksanaan Sekaten dan suara gamelan yang bergema di Masjid Agung Keraton Kasunanan Surakarta yakni, Rahmatan Lilalamin dan kesejahteraan untuk seluruh alam semesta, meluruskan yang bengkok serta membenarkan yang keliru dan memberi cahaya bagi kegelapan.

Sehari sebelum gamelan pusaka tersebut dibunyikan, beberapa abdi dalem sesaji terlebih dulu harus memberi sesaji di ruangan khusus tempat penyimpanan kedua gamelan pusaka yakni, di Sitihinggil. Beberapa rangkaian sesaji ini diantaranya pisang raja setangkep, suruh ayu kinang, bunga tujuh rupa, sego golong, gecok bakal dan beberapa sesaji lainnya yang harus ada pada saat gamelan pusaka akan dibunyikan.

Tempat Ngalap Berkah


Siang hari sebelum gamelan pusaka tersebut dikeluarkan dari Sitihinggil dan di bawa ke Serambi bangsal Masjid Agung, ribuan masyarakat telah antri berjubel.

Menurut kepercayaan di masyarakat, siapapun pertama kali yang mendengarkan suara gamelan pusaka saat ditabuh, akan mendapatkan berkah dan rahmat dari Yang Maha Esa. Kepercayaan ini telah dibawa sejak pertama kali gending gamelan dipergunakan dalam mengiringi dakwah para Walisongo.

Gamelan pusaka yang dibunyikan di era Walisongo tersebut gending suaranya mampu menggetarkan hati siapa saja yang mendengarnya. Konon, suara yang keluar dari kedua gamelan pusaka ini mampu didengar dalam jarak puluhan kilometer. Oleh karena itu setiap kali gamelan pusaka Kyai Guntur Sari dan Kyai Guntur Madu ditabuh, masyarakat akan berbondong-bondong mendatanginya.

“Mereka mempercayainya sebagai satu harapan yang baik untuk kehidupannya,” jelas Puger. (JK)

Follow Lokabali.com di Google News



Komentar

Berita Lain