LOKABALI.COM – Bagi perempuan pulau Ndao, Nusa Tenggara Timur, menenun kain seperti menjadi garis hidup. Menenun menjadi kewajiban yang sangat penting dalam tradisi mereka. Maka tak heran, jika secara turun temurun, perempuan dewasa mewariskan tradisi itu kepada anak perempuannya.
Wesly Fattu (30), pengrajian tenun ikat yang tinggal di RT 01, RW 02, Kelurahan
Namodale Kabupaten Rote Ndao, mengaku keahlian yang dimilikinya berasal dari sang
ibu yang asli warga Pulau Ndao, sebuah pulau kecil yang terpisah dari Pulau
Rote, Nusa Tenggara Timur.
“Sejak usia anak-anak biasanya anak gadis sudah mulai belajar menenun. Saya
sendiri mulai lancar menenun sejak usia sembilan tahun. Tradisi di pulau Ndao
memang begitu. Kegiatan menenun kain sama pentingnya seperti laki-laki mencari
nafkah untuk keluarganya,” jelas Wesly Fattu.
Menariknya lagi, tradisi itu sampai sekarang masih dilakukan secara tradisional
dengan mesin tenun sederhana yang terbuat dari kayu. Sehingga, corak kain yang
dihasilkan pun sangat menarik dengan ornamen tali temali membentuk corak khas
kehidupan warga Timor. Karena coraknya saling terikat satu sama lain, kain
hasil tenun itu disebut tenun ikat.
Kain tenun ikat khas pulau Ndao lebih banyak didominasi warna gelap, biru tua,
dengan corak hiasan berwarna putih dan merah. Warna dan corak ragam hiasannya,
menurut Wesly, mengandung banyak mitos terkait dengan kearifan budaya setempat,
serta imajinasi kesederhanaan warga pulau Rote Ndao.
“Ini sudah jadi pekerjaan sehari-hari. Para perempuan Ndao baru menenun di
waktu luang, setelah selesai memasak dan mengurus keluarga. Ini sudah jadi
kebiasaan dan tradisi. Secara turun temurun, selesai memasak dan mengurus
keluarga, wanitanya pasti memegang alat tenun,” terang ibu muda ini.
Wesly Fattu menjelaskan, proses menenun dimulai dari membuat benang dari kapas,
mencetak motif, sampai pada tahap pencelupan benang ke dalam zat pewarna yang
dibuat dari bahan alami seperti kunyit, akar mengkudu atau daun papaya. Disamping
itu, proses lainnya adalah dengan memendam bahan pewarna ke dalam lumpur untuk
menghasilkan warna yang mampu bertahan hingga puluhan bahkan ratusan tahun.
Dengan sistem kerja tradisional seperti itu, diakui Wesly, membutuhkan waktu
cukup lama. Untuk proses pewarnaan benang saja, waktu yang dibutuhkan bisa
sampai dua atau tiga bulan. Semakin lama, menurutnya, hasilnya akan semakin
bagus. Karena warna benang tidak akan cepat pudar. Sehingga ketika sudah
menjadi kain, disimpan atau dikenakan pun warnanya tetap tetap kuat melekat.
Dari benang yang sudah diwarna, kemudian berlanjut ke pemintalan dengan ATBM atau alat tenun bukan mesin, yang biasa
dipakai warga Rote Ndao untuk menenun. Proses ini juga tidak kalah lama dengan
pewarnaan benang. Apalagi, tenunan yang motifnya rumit, seperti corak
bunga-bungaan, perlu waktu lima sampai enam bulan pemintalan. Itu pun baru jadi
satu lembar kain.
“Terkadang kalau dijual harganya tidak sesuai dengan proses membuatnya. Kita
menjual per lembar kain tenun ikat seharga ratusan ribu, sedangkan prosesnya
butuh waktu enam sampai tujuh bulan. Tapi karena sudah tradisi, kami tetap
menjaganya dan nantinya kami juga mewariskan keahlian saya kepada anak dan
sanak saudara saya yang perempuan,” jelas Wesly Fattu.
Namun, saat ini Wesly menganggap sebagai masa sulit dalam pengembangan tenun ikat timor. Ia memberikan alasan, kalau dulu bahan baku banyak didapat di daerah sekitar pulau timor. Sekarang, ia terpaksa harus membeli bahan mentah berupa kapas.
“Dahulu kami memintal benang sendiri dari pohon kapas. Tapi sekarang kami membeli benang sutra saja, agar praktis. Lagipula dimana mau cari pohon kapas sekarang,” ucapnya. (Way/Zak)
Komentar