LOKABALI.COM-Fenomena gerhana matahari yang datang setiap kali hendaknya patut kita syukuri sebagai wujud kebesaran Tuhan Yang Maha Esa kepada alam semesta. Gerhana matahari adalah fenomena alam yang sudah terjadi berkali kali di dalam peradaban umat manusia
Menilik seperti kejadian di masa silam, fenomena gerhana matahari di tafsir dalam berbagai mitos yang dikaitkan dengan kehidupan umat manusia. Di dalam masyarakat jawa, fenomena gerhana matahari di imajinasikan sebagai perbuatan Bhatara Kala atau Dewa Waktu yang hendak mencaplok matahari. Imajinasi itu tidak hanya pada fenomena gerhana matahari, tetapi pada saat gerhana bulan, imajinasi masyarakat jawa menganggap fenomena tersebut sebagai perbuatan Hanoman yang tengah memakan bulan. Imajinasi dalam konsep masyarakat Jawa sebenarnya memliki makna keselarasan antara manusia dengan alam dan manusia dengan Sang PenciptaNya.
Oleh sebab itu imajinasi dalam konsep keselarasan terus berkembang, dengan adanya berbagai upacara budaya dalam rangka menyambut gerhana matahari dan fenomena alam lain di jagad raya. Berbagai macam upacara perayaan budaya tersebut salah satunya adalah upacara budaya Kala Hayu, perkawinan jagad raya. Sebuah prosesi upacara ritual dan sesaji budaya yang melibatkan seluruh unsur elemen masyarakat dalam rangka menjaga keselarasan alam semesta.
Di sebut ‘upacara perkawinan kala hayu alam raya’ , karena di gelar bertepatan dengan terjadinya gerhana matahari. Posisi matahari, bulan dan bumi berada dalan satu garis, sehingga cahaya matahari yang menyinari bumi terhalang oleh bulan.
Fenomena alam yang berlangsung sekali dalam beberapa abad ini hendaknya patut di syukuri dan disambut dengan suka cita. Prosesi upacara yang menyatu dengan budaya sebagai simbol keselarasan dalam rangka memayu hayuning bawana.
Jika memahami konsep masyarakat nusantara, pada dasarnya sangat memuja kesuburan, segala sesuatu yang bertentangan justru akan melahirkan suatu keharmonisan.
Oleh karena itu, upacara budaya perkawinan alam raya kala hayu berkonsep dari menyantunya bapa biyung ( ayah , ibu). Di dalam adat tradisi masyarakat Jawa, bumi dan angkasa adalah bapa biyung mereka. Untuk itu, keselarasan matahari, bulan dan bumi dalam satu garis di artikan sebagai sebuah perkawinan alam raya.
Di harapkan dengan adanya keselarasan akan mendatangkan kemulyaan, kedamaian dan kebaikan bagi seluruh umat manusia dan mahkluk lainya.
Perkawinan kalahayu bisa di visualkan dalam wujud loro blonyo, sepasang patung laki laki dan perempuan sebagai simbol kesuburan dan keselarasan. Terdapat juga tumpeng robyong yang mencerminkan hasil bumi dari yang ada di dalam tanah sampai dengan yang menggantung di atas.
Tumpeng menggambarkan perkawinan kosmis. Pada perayaan upacara kalahayu terdapat sebuah piramida yang terbuat dari bambu. Konsep piramida merupakan konsep tumpal yang merucut pada segitiga. Konsep ini mengacu pada meru yang berarti gunung. Konsep ini memiliki makna bahwa segala perilaku manusia itu semua mengerucut kepada Nur, ke-Illahian
Pada saat pelaksanaan upacara ritual sesaji kala hayu, pusaka menjadi bagian dari kelengkapan upacara. Pusaka hadir sebagai makna Upakara, yaitu benda benda yang memliki makna simbolik yang mendalam yang dipercaya mampu menghantarkan kekuatan magis tertentu serta membangkitkan dan membangun perilaku perilaku secara positif.
Penggunaan lesung atau kentongan dalam upacara kala hayu di artikan sebagai sebuah makna dan simbol pada saat gerhana matahari. Seperti dalam cerita, pada saat Bhatara Kala di panah oleh dewa, maka jatuhlah kebumi dan dipukul pukul seperti lesung agar cahaya rembulan atau matahari segera bersinar kembali../ Jk
Komentar