LOKABALI.COM – Tema itu diangkat pada diskusi yang diadakan Persatuan Hotel dan Restaurant Indonesia (PHRI) Bali.
Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati atau Cok Ace mengatakan, pelaku pariwisata berkepentingan terhadap upaya penanganan sampah.
Citra Bali sebagai daerah tujuan wisata dunia, membawa pekerjaan rumah untuk menyelesaikan persoalan sampah.
“Apa iya kita lebih hebat dari Kyoto atau kota-kota lain di luar sana yang dikenal bersih,” kata Cok Ace di ruang Pertemuan Kantor DPD PHRI Bali, Jumat, 16 Agustus 2019.
Ketua DPD PHRI Bali ini menilai, ada kesalahan desain dalam penanganan sampah, khususnya kawasan Sarbagita yang selama ini dipusatkan di TPA Suwung. Dari segi ketersediaan lahan, TPA Suwung memiliki 32 hektar. Luas TPA itu memadai jika pengelolaan sampah dilakukan secara tepat.
Hanya saja, menurutnya, kultur Bali berbeda dengan kota besar seperti yang ada di Jepang maupun Inggris dalam mengelola sampah. Negara maju dengan penghasilan penduduknya tinggi, sangat mudah membebankan tipping fee dalam pengelolaan sampah.
“Jika diterapkan di Bali, hal itu akan menjadi beban bagi masyarakat. Saat ini Pemprov Bali tengah memperjuangkan bebas tipping fee dalam pengelolaan sampah TPA Suwung yang merujuk Perpres Nomor 35 Tahun 2018 telah diserahkan kepada PT PLN,” jelas Cok Ace.
Sementara, Ketua TPST Desa Seminyak Komang Ruditha Hartawan mengatakan, kendala dalam pengelolaan sampah adalah mengubah mindset masyarakat agar mau melakukan pemilahan. TPST Seminyak saat ini mengolah 149 meter kubik sampah setiap harinya yang sebagian besar merupakan sampah hotel.
Dari total sampah yang masuk setiap harinya, 60 persen didaur ulang menjadi pakan ternak, kompos atau barang lapak yang bisa dijual. Berdiri sejak tahun 2003, saat ini TPST Seminyak memiliki omzet Rp. 130 juta – Rp 150 juta per bulan.
“40 persennya adalah residu yang kita buang ke TPA Suwung,” kata Komang Ruditha. (*)
Komentar