LOKABALI.COM-Solo di kenal sebagai kota budaya, kota pewaris tahta Mataram Islam di tanah Jawa. Pada masanya Mataram Islam terbagi menjadi empat wilayah yaitu, Kasunanan, Kasultanan, Pakualaman dan Mangkunagaran. Solo tidak hanya memiliki kedekatan history peralihan peradaban Mataram Islam ke dalam pemerintahan republik, akan tetapi Solo juga di anggap sebagai Indonesia kecil karena kemajemukan masyarakatnya.
Suksesi kepemimpinan di Kota Solo kerap menjadi isu panas di kalangan para pejabat, politikus dan masyarakat umum secara luas, sehingga peran serta pemerintah pusat terhadap situasi politik di kota Solo kerap mendominasi di berbagai ajang konstelasi pesta demokrasi.
Hal itu tercermin juga pada saat suksesi pilkada Solo tahun 2021 ini, yang mencalonkan Gibran Rakabumingraka berpasangan dengan Teguh Prakosa menjadi calon Walikota dan Wakil Walikota Solo tahun 2021 dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.
Menarik benang merah sejarah masa silam suksesi raja raja tanah Jawa di Surakarta, semua tak lepas dari intrik politik dan kekuasaaan. Begitupun di era pemerintahan republik saat ini, suksesi pemerintahan di Kota Solo akan selalu di warnai berbagai gejolak politik kekuasaan.
Sehingga tak di pungkiri untuk maju menjadi tokoh pada kontestasi politik, tidak cukup hanya mengandalkan ilmu politik dan konstituen, tetapi nilai spiritual juga akan mewarnai pesta demokrasi yang terjadi di Kota Solo.
‘ Pemimpin di setiap masa peralihan kekuasaan berbeda beda. Seseorang yang dipilih untuk menjadi pemimpin harus mampu menyesuaikan situasi dan kondisi jaman dalam mengelola kebijakan pemerintahanya. Untuk itu dalam petung astrologi Jawa atau pawukon, untuk menjadi seorang pemimpin di Kota Solo tidak cukup hanya mengandalkan otak saja, tetapi watak dalam pawukon akan menentukan sikap kepribadian seseorang di dalam memimpin pemerintahanya ‘ Jelas Gus Aryo, salah satu tokoh spiritual yang menerawang konstelasi politik di kota Solo.
Secara umum lima tahun ke depan Kota Solo butuh pemimpin yang tegas dan cepat dalam mengambil kebijakan. Keberanian di dalam mengambil keputusan mutlak di perlukan saat ini, oleh karena itu watak ksatriya harus di miliki seorang pemimpin di Kota Solo. Agar solo mampu berjalan pada ruh aslinya sebagai kota budaya, religi dan wisata.
Pembawaan watak Pancasuda Satriya Wibawa harus dimiliki seseorang yang memimpin Solo lima tahun kedepan. Pacasuda atau Pawisesan adalah penggolongan sifat manusia yang di hitung dari angka angka khusus.
Pancasuda Satriya Wibawa di artikan di hormati orang karena kemulyaan dan keluhuranya. Watak ini harus di miliki seorang pemimpin dalam menjalankan amanah yang di embanya.
Pancasuda Satriya Wibawa memiliki perlambang Batara Yamadipati, dewa eksekutor yang tugasnya mencabut nyawa. Dimaknai watak seorang pemimpin yang harus berani mengambil kebijakan dan mengeksekusinya.
Pegangan pemimpin sebut Gus Aryo tidak hanya aqidah agama yang di peluknya, namun secara khusus masyarakat Jawa memiliki pedoman filososi kepemimpinan yang di tulis dalam Serat Hastabrata.
Hastabrata sendiri berasal dari bahasa sansekerta yang artinya delapan perilaku atau pengendalian diri yang di dasari atas sifat sifat alam semesta. Kedelapan perilaku adalah karakteristik ideal bagi seorang pemimpin.
Istilah Hastabrata mengacu pada kitab Hindu berbahasa sansekerta, Manawa Dharma Sastra. Konsep kepemimpinan di dalam Hastabrata sebenarnya mengadopsi unsur luhur para dewa. Namun seiring dalam perkembanganya dan masuknya Islam di bumi Nusantara, kedelapan unsur luhur tersebut di gantikan dalam symbol delapan unsur alam semesta. Tranformasi sifat luhur para dewa dalam Hastabrata menjadi delapan unsure alam tercatat dalam naskah Pustakaraja purwa.
Dalam cerita pewayangan, Hastabrata pertama kali ada pada lakon Rama Tundung. Rama Regawa yang merupakan titisan Dewa Wisnu yang mengajarkan nilai luhur Hastabrata kepada adiknya Raden Barata sebelum ia di nobatkan menjadi raja di Ayodya bergelar Prabu Barata.
Kedua saat Raden Rama Regawa mengajarkan kepada Wibisono sebelum akhirnya ia menjadi raja di Alengka yang kemudian berganti nama menjadi kerajaan Sindelo.
Yang ketiga saat Prabu Kresna mengajarkan nilai luhur Hastabrata kepada Arjuna dalam lakon Wahyu Makutarama. Untuk menerima Wahyu Makutarama pemimpin harus mengemban ajaran luhur Hastabrata, sehingga kelak dalam keturunanya lahir para pemimpin pemimpin marcapada.
Selanjutnya dari Janaka ajaran luhur Hastabrata diturunkan kepada Angakawijaya, lalu Parikesit yang oleh masyarakat Jawa di anggap sebagai leluhur raja raja tanah Jawa.
Ke delapan sifat luhur Hastabrata di antaranya mulat Laku Jantraning Bantala. Hiduplah seperti watak bumi yang selalu sabar dan mengalah tak pernah mengeluh. Namun memberikan kebaikan dan kesejahteraan hidup pada siapapun semua mahkluk ciptaan Tuhan.
Mulat Laku Jantraning Surya, hidup seperti watak Matahari yang senantiasa selalu memberikan kecerahan dan kehidupan kepada seluruh mahkluk hidup.
Mulat Laku Jantraning Kartika, hidup seperti watak bintang bintang di langit yang selalu teguh meski di terpa badai, angin dan prahara. Tidak pernah mundur sejengkal pun meski di caci, di maki, di hujat namun teguh menantang hantaman.
Mulat Laku Jantraning Candra, hiduplah seperti watak bulan yang selalu memberi penerangan kepada siapapun dalam kegelapan budi, serta memberikan ketentraman.
Mulat Laku Jantraning samudera, hiduplah seperti watak samudera yang selalu siap menampung segala hal yang baik maupun hal yang buruk. Ibarat samudera yang tak pernah menolak apa saja yang masuk kedalam samudera, semua akan di terima tanpa pamrih dan mengeluh. Menjadi muara dari segala laku kehidupan umat manusia di dunia.
Mulat Laku Jantraning Tirta, hiduplah seperti watak air yang selalu rendah hati, andap asor, jauh dari watak sombong.
Mulat Laku Jantraning Maruta, hidup seperti watak angin yang bisa berada di manapun ia berada. Ajur ajer menyesuaikan dimana bumi dipijak, disitu langit di junjung. Memberi kesejukan, dan sumber kehidupan. Selalu ada dalam kebutuhan, diam tak tampakan kesombongan dalam kenyataan.
Mulat Laku Jantraning Agni, hiduplah seperti watak api yang mampu melebur apa saja yang ada. Menjadi semangat dalam kehidupan, melebur segala kekerasan watak aniaya. Yakin melalui pengendalian diri dengan keteguhan.
Delapan sifat pengendalian diri dalam Hastabrata berdasar pada kesabaran. Delapan sifat alam akan membakar dan meleburkan apa saja jika keseimbangan pengendalian diri goyah.
Oleh karena itu untuk mencapai delapan ajaran Hastabrata, para pemimpin lebih dulu harus menjalani laku menata lahir dan bathin demi tercapaianya pengendalian diri dalam Hastabrata
Ketegasan pemimpin saat ini merupakan hal yang mahal dalam diri seorang kepala daerah. Oleh karena itu sikap Hasta Brata dan perwatakan Pancasuda hendaknya menjadi dasar utama dalam diri seseorang untuk di pilih menjadi seorang pemimpin’ Tutup Gus Aryo membabarkan kebutuhan perwatakan para pemimpin saat ini./ Jk
Komentar