LOKABALI.COM- Lawu, gunung purba yang diyakini sebagai pusat peradaban Nusantara ini menyimpan seribu pesona alam dan sejarah. Jejak peradaban sejarah yang selama ini ada di Gunung Lawu menjadi bukti keberadaan evolusi dari zaman ke zaman.
Gunung Lawu atau Wukir Mahendra memiliki dua jalur pendakian yang secara resmi masuk dalam data KPH Surakarta, Kedua jalur pendakian tersebut adalah via Cetha dan Cemara Kandang. Meski secara umum masih banyak juga jalur lain yang bisa diakses dari desa-desa di lereng Lawu yang kerap dipakai oleh penduduk untuk merambah hutan.
Selama ini para pendaki dan wisatawan lebih banyak melakukan pendakian via ceta dan cemara kandang. Padahal, ada satu pintu pendakian yang lebih dekat bisa di akses sampai puncak Lawu yang memiliki pesona keindahan alam dan sejarah peradaban masa silam.
Pintu pendakian tersebut adalah Gerbang Pamoksan Brawijaya di Desa Babar, Anggrasmanis, Jenawi.
Selama ini penduduk Desa Anggrasmanis di kenal sebagai masyarakat adat lawu yang masih memegang teguh adat istiadat tradisi kuna.
“Disebut gerbang Pamokan atau jalur pamoksan Brawijaya, konon dari tempat tersebut Brawijaya mengawali pendakiannya ke puncak Lawu untuk mawas diri, sebelum akhirnya diyakini oleh masyarakat, Brawijaya moksa di puncak Hargodalem,” Jelas Jayadi, tokoh masyarakat adat Desa Anggrasmanis.
Keindahan gerbang pamoksan Brawijaya tidak hanya nuansa alam yang masih lestari, tetapi jarak tempuh jalur pendakian melalui rute ini juga lebih dekat jaraknya dibandingkan dengan rute lain. Meski sebenarnya jalur pendakian via gerbang pamoksan Brawijaya dan via Cetha berada di jalur yang sama.
“Hanya pintu pendakianya saja yang berbeda,” jelasnya.
Selain menikmati kesahajaan masyarakat adat yang sederhana, para pendaki dan wisatawan juga bisa melihati peninggalan peradaban Hindu yang konon diyakini sebagai tempat bertapa Brawijaya sebelum akhirnya moksa.
Dikisahkan, runtuhnya kejayaan Majapahit membuat seluruh bangsawan Majapahit tercerai berai dan membangun peradaban di daerah-daerah pelarian. Tak ketinggalan Prabu Brawijaya V juga turut menyingkir ke daerah aman diikuti para punggawa dan Brahmana.
Jejak pelarian Brawijaya tidak hanya ditemukan di Jawa Tengah dan kawasan pegunungan seribu (Gunung Kidul ) tetapi di Alas Ketonggo, Ngawi, jejak pelarian Brawijaya juga ditemukan. Berawal dari Alas Ketonggo inilah, Brawijaya merubah dirinya menjadi Brahmana dan melepas seluruh kebesarannya untuk menjadi seorang pendeta. Kemudian mendaki ke puncak Gunung Lawu sampai akhirnya moksa.
Dari jejak peninggalan yang ada, Desa Anggrasmanis ditengarai sebagai desa terakhir persinggahan Prabu Brawijaya. Karena salah satu jejak terakhirnya ditemukan di batu, tak jauh dari air terjun Ringin Jenggot, yang berupa batu berpahat lafad Al Karomah, disertai penunjuk tanda panah naik ke atas puncak. Konon batu tersebut diyakini sebagai petunjuk terakhir pendakian Brawijaya menuju alam karomah.
Dari Desa Anggrasmanis, Brawijaya kemudian ke Candi Cetha, Candi Ketek dan berlanjut ke atas puncak Hargodalem.
Banyaknya peninggalan sejarah dan patirtan, serta kelekatan masyarakat adat Anggrasmanis terhadap budaya kearifan lokal bernafaskan Hindu, maka tidaklah mengherankan jika Desa Anggrasmanis dikenal juga sebagai kampung Majapahit.
Kelekatan nama kampung Majapahit tidak hanya dari pola hidup masyarakat adat yang masih memegang teguh tradisi, tetapi kesahajaan dan kesederhanaan hidup penduduk desa yang menyatu dengan alam seperti halnya suku Samin di pesiri Utara Jawa Tengah maupun suku Badui di Jawa Barat. Desa Anggrasmanis satu-satunya desa di Lereng Lawu yang masih memiliki akar kebudayaan Jawa kuat di masa silam.
Patirtan Kalisodo, sumber mata air keramat di Desa Anggrasmanis yang saat ini pergunakan oleh penduduk desa untuk kebutuhan hidup sehari hari, konon berasal dari lidi yang di tancapkan oleh Dewi Anggrasmanis.
Belum lagi legenda patirtan Sapta Rsi di Gerbang pendakian pamoksan Brawijaya diyakini muncul dari kekuatan gaib tujuh orang Brahmana pengikut Prabu Brawijaya.
Untuk memperingati jejak sejarah dan kejayaan Majapahit dimasa silam agar tak terlupakan dan tergerus oleh jaman, masyarakat adat Anggrasmanis lantas membangun monumen Surya Majapahit di kawasan gerbang pamoksan.
Selain itu, kebiasaan adat jual beli di pasar tempo dulu juga dilestarikan di kampung Majapahit dengan cara menggelar pasar tinthir. (JK)
Komentar