oleh

Hutan Bakau Berusia 1.000 Tahun, Hanya ada di Pulau Terluar Selatan RI

-Jelajah, Spot-3.396 views

LOKABALI.COM – Hamparan hutan bakau di sepanjang garis pantai Dusun Baudale, Desa Maubesi, Kecamatan Rote Tengah, Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, tampak subur menghijau. Pohon-pohon bakau itu pun laksana memagari Dusun Baudale.

Kawasan yang bakal dikembangkan sebagai areal konservasi dan wisata ini seluas 2,5 hektar. Pohon-pohon bakau yang ada disitu diperkirakan berumur 100 tahun hingga 1.000 tahun.

Itu tampak dari lingkar batang-batang mangrove yang rata-rata berdiameter 2 hingga 4 meter. Suasana hutan mangrove itu selaras dengan perairan jernih nan tenang yang memanjang hingga Pantai Tulandale di Kecamatan Lobalain.

Kepala Desa Maubesi, Kecamatan Rote Tengah, Firlop Pelokila menjelaskan, pihaknya telah menganggarkan Rp 250 juta untuk pengembangan hutan mangrove sebagai kawasan wisata religi.

“Wisata religi ini akan menjadi yang pertama di pulau Rote. Anggaran itu akan kami ambil dari Dana Desa,” jelas Firlop Pelokila.

Pengembangan hutan mangrove sebagai wisata religi, bukannya tanpa alasan. Menurut Firlop, nama Ndii Lifu (Danau Air) untuk menyebut hutan mangrove itu berasal dari cerita seorang Misionaris Kristen yang terbunuh karena mengabarkan Injil sekitar tahun 1700-an.

“Sesuai cerita yang berkembang disini, misionaris itu terbunuh karena mengabarkan Injil,” kisah Firlop.

Alasan itulah yang mendasari rencana pengembangan Mangrove Ndii Lifu atau Danau Air sebagai kawasan wisata religi.

“Untuk mengenang kembali sejarah, kami akan membangun Wisata Religi dan juga untuk melestarikan lingkungan,” jelas Firlop.

Bakau Setinggi 10 Meter
Jumlah warga di Dusun Baudale tidak banyak. Mereka juga tidak banyak mengembangkan pemukiman di wilayah itu. Hutan bakau pun tumbuh subur tanpa ada gangguan dari hewan ternak atau manusia sendiri. Bakau-bakau bisa tumbuh dengan ketinggian mencapai 4-10 meter dan menjadi tempat tinggal burung-burung pantai atau ikan-ikan kecil, termasuk kepiting.

Dusun Baudale sendiri lokasinya cukup strategis. Pengunjung dari luar Pulau Rote dapat menjangkau hutan mangrove ‘Danau Air’ itu dengan mudah. Jarak hutan mangrove tua itu dari pelabuhan kapal cepat hanya 3 kilometer.

Dalam perbincangan dengan Koranjuri.com, Firlop Pelokila menyebutkan, Ndii Lifu selama ini cukup sering dijadikan tema pre wedding oleh wisatawan lokal. Bila ditata lagi dengan baik, Firlop meyakini hutan mangrove itu akan semakin banyak pengunjung. Pemberdayaan ekowisata dan konservasi alam dinilai cara promosi untuk mendapatkan pengunjung dari berbagai wilayah di Indonesia bahkan mancanegara.

“Saat ini pembangunan fisik untuk meningkatkan akses ke lokasi telah dibangun jalan beton sepanjang 90 meter untuk memudahkan pengunjung mengakses sampai ke lokasi,” ujar Firlop.

Firlop pun mengaku tak bosan-bosan dirinya membangun pemahaman agar masyarakat jangan sampai mengabaikan kawasan pesisir. Menurut Firlop Pelokila, Pulau Rote memiliki luas yang sangat terbatas. Sebagian kawasan hanya berupa dataran rendah, yang langsung berhubungan dengan garis pantai.

“Saat ini masih aman. Tapi, 20-50 tahun lagi pulau ini akan berubah sesuai perubahan pemanasan global. Oleh karena itu sejak dini kita mulai menata,” kata kepala desa dua periode ini.

Sekali lagi, Firlop menegaskan bahwa dirinya terinspirasi membangun ekowisata berbasis religi karena ada nilai sejarah dan konservasi hayati. Lantas, kenapa mangrove disebutnya sangat potensial bagi pengembangan ekowisata?

“Karena mangrove sangat unik serta model wilayah disini dapat dikembangkan sebagai sarana wisata dengan tetap menjaga keaslian hutan serta organisme hidup,” ujar Firlop Pelokila. (Zak/koranjuri)

Follow Lokabali.com di Google News



Komentar

Berita Lain